Pudovkin melihat bahwa bukan hanya pikiran kita yang akan terpengaruh saat menikmati film, tapi juga tubuh kita. Kata-kata Pudovkin memperkuat asumsi kebanyakan orang bahwa media film merupakan media yang paling lengkap unsurnya daripada yang lain. Film memanjakan kita dengan suara serta gambarnya yang realistis. Karena berangkat dari gambar statis yang terjunktaposisi dan dibantu oleh unsur cahaya, maka sebagian orang juga menjuluki film sebagai motion picture.
“Nyata”, mungkin itu yang pertama kali dipikirkan oleh beberapa orang di ruang bawah tanah disebuah cafĂ© di Perancis pada tahun 1895. Saat itu Lumiere Bersaudara menyuguhkan kepada penonton pertama mereka gambar-gambar realistis dari mesin buatannya yakni Cinematographe, dari para kaum buruh yang pulang dari pekerjaannya hingga gambar-gambar bergerak sebuah kereta api di stasiun. Film menghadirkan artefak-artefak sejarah serta sebuah refleksi (Villarejo, 2007:55).
Berpuluh-puluh tahun hingga satu abad lamanya, film bertahan sebagai teknologi audio visual yang menghibur begitu juga mendidik. Walaupun teknlogi audio visual yang lebih murah dan praktis mulai banyak bermunculan (seperti televisi berbasis digital dengan ukuran pixel 16:9 ), namun film dengan segala unsur teknisnya masih diminati hingga kini. Walapun seperti itu keadaanya, namun film tidak bisa berdiri sebagai status quo, mau atau tidak mau dengan segala teknis analognya, film harus bermetamorfosa dan mau bersanding dengan teknologi digital.
“Nyata”, mungkin itu yang pertama kali dipikirkan oleh beberapa orang di ruang bawah tanah disebuah cafĂ© di Perancis pada tahun 1895. Saat itu Lumiere Bersaudara menyuguhkan kepada penonton pertama mereka gambar-gambar realistis dari mesin buatannya yakni Cinematographe, dari para kaum buruh yang pulang dari pekerjaannya hingga gambar-gambar bergerak sebuah kereta api di stasiun. Film menghadirkan artefak-artefak sejarah serta sebuah refleksi (Villarejo, 2007:55).
Berpuluh-puluh tahun hingga satu abad lamanya, film bertahan sebagai teknologi audio visual yang menghibur begitu juga mendidik. Walaupun teknlogi audio visual yang lebih murah dan praktis mulai banyak bermunculan (seperti televisi berbasis digital dengan ukuran pixel 16:9 ), namun film dengan segala unsur teknisnya masih diminati hingga kini. Walapun seperti itu keadaanya, namun film tidak bisa berdiri sebagai status quo, mau atau tidak mau dengan segala teknis analognya, film harus bermetamorfosa dan mau bersanding dengan teknologi digital.
Film Berbasis Digital
Bukan bermaksud promosi, Canon 5D atau Nikon D90 telah membuat fasilitas video dalam format HD dalam fiturnya. Jangan ditanya bagaimana kualitasnya. Sederhananya, hanya dengan kamera DSLR tipe tersebut di atas seorang siswa SMP di ujung negara kita ini bisa membuat film dengan kualitas gambar yang baik. Membuat filmnya sendiri, menghapusnya, memproduksi lagi, menghapusnya lagi, memproduksinya lagi dan seterusnya.
Jika DSLR sekelas Canon 5 D atau D90 terlalu mahal untuk membuat film, kamera video dengan format 3 CCD plus HD dengan bermacam harga dibawah 10 juta siap mendukung film kamu. Dengan seperti itu seorang mahasiswa bisa kreatif membuat film indienya dan mendapatkan award di Festival Film Pelajar. Tengok saja bagaimana anak-anak muda Purbalingga dengan perangkat video seadanya mampu membuat film mereka sendiri. Bukan hanya itu saja, mereka juga membuat komunitas film khusus kaum muda Purbalingga yang mereka beri nama Cinema Lovers Community (CLC). Tak puas hanya membuat komunitas, mereka kemudian membuat festival film yang mereka beri nama Purbalingga Film Festival.
Inilah fenomena sosial yang muncul karena perkembangan teknologi audio visual. Karena sifatnya yang lebih sederhana dan murah, orang bisa dengan mudah membuat filmnya sendiri dengan budget yang secukupnya. Perkembangan teknologi video yang semakin murah ini memacu kreatifitas kaum muda untuk membuat karya videonya. Banyak pembuat film (filmmaker) professional yang awalnya berangkat dari pembuat film amatir menggunakan kamera video. Seperti film pendek “Mayar” (2002) misalnya, karya sineas Ifa Isfansyah dari komunitas film bernama Full Color ini menggunakan kamera Hi-8 dan hanya berbudget Rp 500 ribu saja dalam produksinya. Walaupun hanya film berbudget kecil, namun film ini punya taring yang cukup tajam di festival-festival film, salah satu festival video bergengsi yang pernah dijambangi adalah KONFIDEN. Bowo Leksono dengan filmnya berjudul “Peronica” (2004) juga sering menghiasi festival film nasional. Bermodal kamera kecil dan ruang kecil sebesar 2 x 3 meter muncul sineas daerah yang berkualitas.
Saya yakin masih banyak filmmaker-filmmaker lainnya yang mempunyai semangat dan prestasi yang sama seperti dua oknum yang telah saya tuliskan di atas. Tidak selesai pada level filmmakernya saja, komunitas film dan video juga makin intens membuat event bagi kepentingan mereka sendiri, seperti apresiasi film hingga membuat event festival film. Seperti yang telah saya tulis sebelumnya ada Purbalingga Film Festival, Konfiden, Jogja Film Festival, Parade Film Pendek Unnes, Malang Film Video Festival, dan lain sebagainya. Festival tingkat internasional sekelas Jifest ( Jakarta International Film Festival) dan Jaff (Jogja Asian Film Festival) juga tidak menutup diri menerima film-film berformat video karya para filmmaker indie. Maka komunitas film seperti Hide Project yang menggunakan video sebagai alatnya mampu menembus festival internasional Jaff.
Saya yakin masih banyak filmmaker-filmmaker lainnya yang mempunyai semangat dan prestasi yang sama seperti dua oknum yang telah saya tuliskan di atas. Tidak selesai pada level filmmakernya saja, komunitas film dan video juga makin intens membuat event bagi kepentingan mereka sendiri, seperti apresiasi film hingga membuat event festival film. Seperti yang telah saya tulis sebelumnya ada Purbalingga Film Festival, Konfiden, Jogja Film Festival, Parade Film Pendek Unnes, Malang Film Video Festival, dan lain sebagainya. Festival tingkat internasional sekelas Jifest ( Jakarta International Film Festival) dan Jaff (Jogja Asian Film Festival) juga tidak menutup diri menerima film-film berformat video karya para filmmaker indie. Maka komunitas film seperti Hide Project yang menggunakan video sebagai alatnya mampu menembus festival internasional Jaff.
Generasi Video
Semangat independent bagi para pelaku film di Indonesia sesungguhnya bukan hanya pada masalah pendanaan saja, tapi juga independent secara wacana dan ideologi, terlepas dari ketergantungan pemodal yang cenderung komersil. Tapi itu pun asumsi saya saja, bisa jadi ada sebagian komunitas film independent di Indonesia yang mempunyai padangan sendiri mengenai indie itu sendiri. Toh definisi indie tidak pernah selesai di lapangan. Seorang oknum filmmaker malah mengatakan kepada saya, “yang penting sekarang adalah memproduksi film yang berkualitas, itu saja”.
Saat Aria Kusumadewa berbicara di sebuah pemutaran filmnya berjudul “Identitas” (2009) bersama Dedi Mizwar di Jurusan Ilmu Komunikasi Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, mengatakan bahwa filmnya adalah film indie. Keindieannya itu ia buktikan dengan memutar filmnya di kampus-kampus. Walaupun distribusinya diputar juga di bioskop yang biasa kita anggap sebagai jalur mainstream, namun ia mengaku masih tetap eksis menjadi kaum indie. Dalam film tersebut ia memakai kamera kecil yang dia akui hanya seharga 7 jutaan saja. “Identitas” yang diperankan aktor kawakan Tio Pakusadewo dan Leony ini bisa menjadi motivasi para filmmaker indie untuk membuat karya yang bermutu walaupun dengan budget minim.
Sisi lain gerakan video diperlihatkan oleh Kampung Halaman sebagai NGO yang konsen di video dengan mengenalkan video diary. Aktifis lingkungan yang tergabung dalam Green Map Jogja juga mengenalkan wacana video yang kemudian mereka juluki dengan video report.. Sam Gregory seorang filmmaker documentary melihat video adalah sebagai alat. Yakni alat untuk melakukan advokasi dan pendidikan politik bagi masyarakat. Video pada level tertentu menjadi kebutuhan sosial, bagian dari komunikasi antar kelas sosial dan meruntuhkan sekat tradisi. Hal inilah yang sudah terjadi di kalangan filmmaker indie di Indonesia, tumbuhnya komunitas film yang makin banyak, serta karya film video yang semakin bervariasi secara tidak langsung meruntuhkan cara pandang elitisme dalam melihat film. Intinya adalah film bisa dibuat oleh siapapun, sekelas anak SD sekalipun. Film bukanlah milik segelintir orang, film adalah milik segala kelas sosial.
Semangat independent bagi para pelaku film di Indonesia sesungguhnya bukan hanya pada masalah pendanaan saja, tapi juga independent secara wacana dan ideologi, terlepas dari ketergantungan pemodal yang cenderung komersil. Tapi itu pun asumsi saya saja, bisa jadi ada sebagian komunitas film independent di Indonesia yang mempunyai padangan sendiri mengenai indie itu sendiri. Toh definisi indie tidak pernah selesai di lapangan. Seorang oknum filmmaker malah mengatakan kepada saya, “yang penting sekarang adalah memproduksi film yang berkualitas, itu saja”.
Saat Aria Kusumadewa berbicara di sebuah pemutaran filmnya berjudul “Identitas” (2009) bersama Dedi Mizwar di Jurusan Ilmu Komunikasi Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, mengatakan bahwa filmnya adalah film indie. Keindieannya itu ia buktikan dengan memutar filmnya di kampus-kampus. Walaupun distribusinya diputar juga di bioskop yang biasa kita anggap sebagai jalur mainstream, namun ia mengaku masih tetap eksis menjadi kaum indie. Dalam film tersebut ia memakai kamera kecil yang dia akui hanya seharga 7 jutaan saja. “Identitas” yang diperankan aktor kawakan Tio Pakusadewo dan Leony ini bisa menjadi motivasi para filmmaker indie untuk membuat karya yang bermutu walaupun dengan budget minim.
Sisi lain gerakan video diperlihatkan oleh Kampung Halaman sebagai NGO yang konsen di video dengan mengenalkan video diary. Aktifis lingkungan yang tergabung dalam Green Map Jogja juga mengenalkan wacana video yang kemudian mereka juluki dengan video report.. Sam Gregory seorang filmmaker documentary melihat video adalah sebagai alat. Yakni alat untuk melakukan advokasi dan pendidikan politik bagi masyarakat. Video pada level tertentu menjadi kebutuhan sosial, bagian dari komunikasi antar kelas sosial dan meruntuhkan sekat tradisi. Hal inilah yang sudah terjadi di kalangan filmmaker indie di Indonesia, tumbuhnya komunitas film yang makin banyak, serta karya film video yang semakin bervariasi secara tidak langsung meruntuhkan cara pandang elitisme dalam melihat film. Intinya adalah film bisa dibuat oleh siapapun, sekelas anak SD sekalipun. Film bukanlah milik segelintir orang, film adalah milik segala kelas sosial.
0 Komentar:
Post a Comment