Sudah lama setelah si kotak ajaib meruntuhkan kedigdayaan film paska Perang Dunia II. Kehebatannya sepertinya tak urung menurun, malahan sebaliknya televisi semakin membumi dan terus berproses menuju penyempurnaan. Selain isi program yang terus berkembang, televisi juga terus melakukan penyempurnaan di perangkat teknologinya.
Menilik perkembangan pertelevisian di Indonesia, dimulai dengan berdirinya TVRI pada tahun 1962 di masa Presiden Soekarno. Dalam proses pendiriannya, televisi plat merah ini konon terkesan terburu-buru, sebab pada saat itu bangsa Indonesia tengah mempersiapkan hajatan akbar pekan olah raga Asian Games IV di Jakarta. Untuk sementara TVRI menggandeng RRI untuk pengadaan SDMnya. Dengan semangat kesederhanaan, TVRI telah menorehkan sejarah pertelevisian di Indonesia. Setelah era Reformasi bergulir, apalagi setelah UU No.32 tahun 2002 tentang Penyiaran disahkan pada masa kepemimpinan Megawati, saat itu juga Indonesia telah menuju pada gerbang baru perkembangan penyiaran. Pendefinisian yang jelas terhadap jenis penyiaran, memberikan peluang bagi masyarakat untuk membangun medianya sendiri secara mandiri. Seperti salah satu turunannya dalam UU tersebut, bahwa televisi swasta nasional harus melakukan kerjasama dengan televisi lokal atau mendirikan televisinya di daerah dalam menayangkan program programnya. Sistem yang lebih dikenal dengan Sistem Siaran Jaringan (SSJ) ini jelas memberikan peluang kepada daerah untuk membangun televisinya sendiri.
Di Yogyakarta, telah ada dua televisi lokal yang telah mengudara yakni RBTV dan Jogja TV. Walaupun masih terkesan menyontek karakter televisi swasta nasional, televisi lokal pelan namun pasti mulai menemukan karakternya masing-masing. Buktinya sekarang telah antri tujuh invenstor televisi lokal di Yogyakarta yang siap mengudara. Televisi yang siap mengudara tersebut adalah TATV, KresnaTV, Nusa TV, Matahari TV, Malioboro TV, ADTV, dan HDTV. Sayangnya tujuh investor ini harus bersusah payah lebih dahulu untuk merebutkan satu kanal yang tersedia dari 14 kanal yang tersedia.
Permasalahan kanal ini memang cukup pelik. Dengan adanya tujuh investor yang siap memancangkan pemancarnya di Yogyakarta, jelas merupakan pilihan yang sulit untuk menentukan siapa yang pantas mendapatkan satu kanal tersebut. Surat serta somasi dari KPID yang sempat dilayangkan ke 10 televisi swasta agar melakukan siaran berjaringan dengan televisi lokal akhirnya tidak memberikan pengaruh apa-apa selain hanya menghasilkan rekomendasi saja.
Regulasi dan teknologi sepertinya harus selalu saling mendukung satu sama lain. Fenomena teknologi baru televisi digital dengan fasilitas dan kelebihan-kelebihannya mungkin bisa menjadi solusi dari peliknya masalah kanal di Yogyakarta.
Bicara tentang perangkat penyiaran baru ini, TVRI pusat Jakarta telah menguji coba teknologi tersebut dengan hasil yang cukup memuaskan. Kualitas suara dan gambarnya lebih baik daripada televisi analog, serta efektifitas kanal yang lebih memadahi. Teknologi tersebut adalah adopsi teknologi Eropa yang dikenal dengan teknologi DVB-T (Digital Video Broadcasting-Terrestrial). Setelah dibandingkan dengan ATSC dari Amerika Serikat, atau dari Jepang dengan ISDB, sepertinya tipe DVB-T diyakini menjadi pilihan yang strategis untuk pengembangan digital broadcasting television di Indonesia. Hal ini mengacu dengan keadaan di Indonesia yang menjadi negara dengan penyiaran terbanyak kedua setelah Cina. Menurut data yang diambil dari Habibie Center ada kurang lebih 60 televisi lokal yang telah berdiri di Indonesia.
Sepertinya regulasi harus secepatnya menyesuaikan teknologi penyiaran yang semakin canggih. Perebutan kanal yang sedang terjadi saat ini tidak akan terjadi jika teknologi televisi digital secepatnya terealisasikan. Bayangkan saja dengan hanya satu kanal dengan kekuatan 6-8 MHz bisa dipakai oleh 5-8 program televisi dengan memakai standar SDTV (Standart Definition Television), atau 2 program televisi dengan standar HDTV (High Definition Television).
Kebiasaan manusia modern yang sudah pada level moving juga membuat teknologi televisi terus mengalami perubahan. Selain teknologi DVB-T yang memfokuskan pada televisi tidak bergerak, DVB juga mulai menerapkan teknologinya pada perangkat hand phone. Teknologi ini sering disebut sebagai DVB-H atau Digital Video Broadcasing- Hand Held.
Dengan fenomena seperti itu, teknologi penyiaran yang canggih ini sangat mungkin dapat menyelesaikan permasalahan kanal yang terjadi di Yogyakarta. Bukan hanya itu saja, variasi konten program penyiaran juga bisa dikembangkan lagi menjadi lebih menarik. Semakin tinggi kepemilikan perangkat handphone dengan fasilitas televisi digital, atau semakin banyaknya televisi yang dipasang di mobil, semakin berubah pula kebiasaan masyarakat. Yakni dari menonton televisi dalam keadaan diam ke menonton televisi dalam keadaan bergerak. Kebiasaan ini bisa menjadi pasar baru dalam bisnis penyiaran. Karena sifatnya yang bergerak, maka dibutuhkan program televisi yang khusus diperuntukan bagi kalangan masyarakat padat aktifitas. Jelas pasar ini masih jarang dilirik oleh investor, walaupun secara wacana sudah sering didiskusikan.
Tujuh televisi lokal yang siap mengudara di Yogyakarta merupakan peluang emas bagi Yogyakarta untuk mengembangkan ekonomi masyarakatnya. Selain membuka lapangan kerja baru, gairah periklanan juga akan meningkat, dan masyarakat jugalah yang akhirnya akan diuntungkan.
Memang sulit dipahami mengapa banyak invenstor penyiaran televisi mau menanamkan modalnya di Kota Gudeg ini, yang jelas-jelas secara ekonomis tidak begitu menarik. Namun lepas dari kepentingan ekonomi, kita harus sadari pula bahwa Yogyakarta sebagai kota pelajar dan budaya merupakan miniatur Indonesia yang memiliki ciri khas yang berbeda daripada kota-kota lain. Dengan keistimewaan itulah investor menganggapnya cukup strategis.
Dengan adanya fenomena tersebut, maka perlu ada perhatian dari pemerintah, terutama dalam hal regulasi untuk mendukung teknologi tersebut. Dan perlu disadari secara kolektif, bahwa gairah media dapat meningkatkan gairah pasar yang kemudian dapat meningkatkan kesejahteraan masayarakat.
Oleh Zein Mufarrih Muktaf
0 Komentar:
Post a Comment