Berbagai konflik horizontal dengan latar etnis, suku, agama, yang terjadi di berbagai belahan wilayah Indonesia pasca jatuhnya Soeharto, memberikan pembelajaran yang sangat bermakna tentang pentingnya penghargaan terhadap keberagaman. Kita sempat tersentak dan bertanyatanya karena selama ini dikenal dengan bangsa yang ramah, santun dan penuh kegotongroyongan. Mengapa demikian? Untuk menjawab pertanyaan ini, mau tak mau kita harus sejenak menengok ke belakang. Pertama, kebijakankebijakan penyeragaman pada masa Orde Baru telah mematikan kemajemukan yang sesungguhnya merupakan kekayaan bangsa Indonesia (agama, adat istiadat, ideologi, kehidupan social keagamaan).
Kebijakan penyeragaman ini tidak lepas dari usaha pemerintah di masa itu untuk menjadikan budaya sebagai bentuk ideological state’s apparatus yang difungsikan sebagai alat hegemoni untuk mengontrol masyarakat sipil. Kedua, perdebatan dan diskusi akademis dan argumentatif yang berkaitan dengan isu SARA tidak diijinkan dan bahkan menjadi sesuatu yang tabu. Etnis China bahkan harus rela menutup berbagai artefak budaya yang mereka miliki sebagai akibat kebijakan pemerintahan di masa tersebut.
Padahal sejak awal berdirinya republik ini, sudah disadari benar oleh para bapak bangsa sebagai founding fathers bahwa bangsa ini sangat heterogen. Namun sayangnya perbedaanperbedaan ini selanjutnya tidak pernah dibicarakan, bahkan ditabukan, yang tersimpan sebagai prasangkaprasangka dan pada akhirnya menjadi bom waktu. Institusi pendidikan yang seharusnya berperan untuk mendialogkan, membentuk pribadi-pribadi yang menghargai keragaman, mempromosikan keragaman ini seringkali tanpa disadari justru mereproduksi kebijakan negara untuk homogenisasi, memperteguh perbedaan, prasangka dan pertentangan serta memperkuat identitasidentitas kelompok. Pada akhirnya pemahaman terhadap keragaman/kemajemukan bangsa tereduksi hanya dalam pajangan-pajangan kostum yang acapkali hilang pemaknaannya.
Kebijakan penyeragaman ini tidak lepas dari usaha pemerintah di masa itu untuk menjadikan budaya sebagai bentuk ideological state’s apparatus yang difungsikan sebagai alat hegemoni untuk mengontrol masyarakat sipil. Kedua, perdebatan dan diskusi akademis dan argumentatif yang berkaitan dengan isu SARA tidak diijinkan dan bahkan menjadi sesuatu yang tabu. Etnis China bahkan harus rela menutup berbagai artefak budaya yang mereka miliki sebagai akibat kebijakan pemerintahan di masa tersebut.
Padahal sejak awal berdirinya republik ini, sudah disadari benar oleh para bapak bangsa sebagai founding fathers bahwa bangsa ini sangat heterogen. Namun sayangnya perbedaanperbedaan ini selanjutnya tidak pernah dibicarakan, bahkan ditabukan, yang tersimpan sebagai prasangkaprasangka dan pada akhirnya menjadi bom waktu. Institusi pendidikan yang seharusnya berperan untuk mendialogkan, membentuk pribadi-pribadi yang menghargai keragaman, mempromosikan keragaman ini seringkali tanpa disadari justru mereproduksi kebijakan negara untuk homogenisasi, memperteguh perbedaan, prasangka dan pertentangan serta memperkuat identitasidentitas kelompok. Pada akhirnya pemahaman terhadap keragaman/kemajemukan bangsa tereduksi hanya dalam pajangan-pajangan kostum yang acapkali hilang pemaknaannya.
Reproduksi Antimultikultur Di Sekolah
Sampai saat ini, kita belum bisa berharap banyak terhadap institusi pendidikan untuk mengambil peran yang sesungguhnya karena sekolah telah tereduksi dikarenakan standar-standar mutu yang sangat mengagungkan kognisi. Proses pendidikan lebih banyak dimaknai sebagai proses transfer of knowledge, dan siswa lebih disiapkan untuk menjadi bagian dari masyarakat kapital/industri. Akhirnya siswa teraleniasi dari lingkungannya, menjadi manusia-manusia yang tidak memahami keragaman komunitas etnis maupun keberagamaannya. Idealnya fungsi penting pendidikan, seperti yang dinyatakan oleh Dr Abdul Munir Mulkhan (2002) bahwa fungsi penting pendidikan salah satunya adalah meningkatkan kemampuan seseorang agar bisa hidup sebagai warga negara, komunitas keagamaan atau etnis, hingga ketetanggaan dan kampung. Namun sayangnya peranperan institusi pendidikan untuk mempromosikan penghargaan terhadap kemajemukan ini mandeg, dan diabaikan dalam proses pembelajaran di sekolah. Memang, institusi pendidikan di Indonesia tidak bisa dilepaskan dari kepentingan politik penguasa, sehingga proses-proses homogenisasi dan indoktrinasi dijalankan melalui sekolah sebagai salah satu state apparatus. Sekolah merupakan salah satu media untuk melakukan ideologisasi nilai-nilai sesuai dengan kepentingan politik dominan.
Banyak praktek-praktek di sekolah yang mengarah pada sikap-sikap yang meneguhkan prasangka dan perilaku anti pluralisme. Siswa belajar mengidentifikasi diri sebagai kelompok tertentu, untuk membedakan dengan kelompok yang lain sematamata didasarkan pada identitas-identitas primordial seperti keagamaan, etnis, suku.
Pembelajaran di sekolah terbawa juga dalam praktek-praktek di rumah. Saya ingat cerita teman saya ketika anaknya meminta bapaknya untuk memindah channel televisi dengan segera karena program ini bukan program yang sesuai dengan agama yang dianutnya. Perbedaan-perbedaan yang tidak substansial tersebut akhirnya akan memperkuat identitas sebagai in group dan out group. Merujuk pada Faucoult, bahwa telah terjadi proses eksklusi dan enklusi sebagai sebuah kelompok melalui materi-materi pembelajaran di kelas dan praktek- praktek di sekolah. Demikian halnya dengan prasangka-prasangka etnis, suku dan agama yang selama ini hidup dalam masyarakat tidak pernah mendapat tempat untuk didiskusikan secara akademis dan argumentatif di sekolah karena memang dianggap tabu. Padahal seringkali prasangka ini belum tentu benar karena memang prasangka (predujice) muncul berdasarkan keyakinan-keyakinan, kepercayaan, persaingan dan seringkali penuh emosi namun tidak disertai dengan bukti-bukti terlebih dahulu. Akhirnya siswa akan berperilaku terhadap kelompok lain sesuai dengan prasangka-prasangka yang sudah ada dan dinggap benar.
Praktek penandaan seperti ini akan membentuk sebuah pola oposisi biner (binary oposition) yang akan mempertentangkan antara diri kita (self) dengan pihak lain (the other). Konflik multikultur yang terjadi dalam sejarah bangsa ini selalu berawal dari pola oposisi biner yang sudah menjadi strukturalisme yang menjerumuskan bangsa tercinta ini ke dalam konflik multikultur sebagaimana yang terjadi saat meledak kerusuhan Mei 1998 yang mempertentangkan pribumi vs China, konflik di Sambas yang berawal dari oposisi biner antara Dayak vs Madura atau yang masih teringat di benak kita ketika Islam vs Kristen dipertentangkan dalam konflik Poso.
Multikultur Harus Dikelola
Berkaca pada pengalaman konflikkonflik horizontal, menguatnya identitas kelompok, terpendamnya prasangka-prasangka etnis, suku dan agama di Indonesia ini, menuntut institusi pendidikan untuk menjalankan fungsinya. Adanya Indonesia karena kemajemukan yang indah ini dan mempunyai citacita bersama sebagai bangsa Indonesia. Oleh karena itu institusi pendidikan yang merupakan ujung tombak proses pembelajaran seharusnya mempromosikan pentingnya pemahaman dan penghargaan terhadap kemajemukan ini. Sekolah harus mengajarkan dan sekaligus menumbuhkan semangat multikultur sebagai sebuah bangsa untuk siswa-siswanya.
Tumbuhnya semangat multikultur taken for granted, datang tiba-tiba namun harus diusahakan. Perbedaan yang ada harus dikelola karena tidak tiba-tiba dimiliki. Salah satu contohnya, dalam perjalanan saya untuk program Religion and Society di Temple University USA memberikan rujukan bahwa perpektif multikultur harus dikelola dan diciptakan. Di sana terdapat satu divisi khusus tentang pengembangan multikultur yang dikelola oleh universitas untuk mempertemukan budaya-budaya yang berbeda.
Oleh : Tri Hastuti Nur R (Dimuat di Harian Kedaulatan Rakyat)
2 Komentar:
sosial blog ya...
tuker link yukk...
Boleh bro.... gua udah letakkin link bro diblog ini ya...
Post a Comment